Rabu, 21 Mei 2008

Dialog Dunia - Nurani

Pada suatu persimpangan jalan yang sangat ramai, sesuatu berseru-seru heboh pada orang-orang yang lalu-lalang: “Raihlah Aku...! Raihlah Aku…!!”

Tak sedikit yang tertarik, lalu mencoba meraihnya denga n segala daya. Tak terpungkiri, aku pun tertarik padanya. Tapi aku tak meraihnya. Aku hanya tertarik pada karakternya yang unik, gayanya yang asyik, dan wajahnya yang luar biasa!! Namun tak urung terbersit pula kata “kelam” hampir seketika itu juga. Aku tak mengerti mengapa. Dengan penuh rasa ingin tahu, kudekati ia.

“Siapakah kau?” tanyaku lugu.

“Aku?” senyumnya. “Aku adalah idola, Aku adalah tumpuan asa, Aku adalah tujuan, Aku adalah sasaran caci-maki, Aku adalah kambing hitam, Aku dicari dan dituju banyak orang. Yah, tergantung dari sisi mana kau memandangku, memahamiku dan menginginkanku.”

“Aku tak mengerti,” kataku bingung.

“Ah, kau terlalu lugu, tapi aku justeru sangat suka pada orang-orang sepertimu.”

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Karena orang sepertimu gampang dipengaruhi. Gampang dimanfaatkan. Sangat berguna bagiku,” tangannya mulai merangkulku. “Tapi, kau juga sangat berbahaya bagiku,” tangannya semakin keras mencengkeram pundakku.

Aku mengernyit. “Aku? Berbahaya bagimu?” Kupandang wajah indahnya sambil tersenyum senang, merasa memiliki sesuatu yang bisa menjadi andalanku, kebanggaanku, senjataku. “Kenapa?”


Cengkeramannya mulai mengendur.

“Aku tak ingin menjawabnya. Mari kita bicarakan yang lain saja,” elaknya.

“Kenapa? Ayo jawab! Kenapa aku bisa berbahaya bagimu? Kenapa kau takut padaku?” desakku sambil menarik-narik ujung daun baju indahnya.

“Inilah yang kutakutkan darimu,” ungkapnya tak jelas, membingungkanku.

“Apa itu?” tanyaku tambah tak mengerti.

“Kau, keluguanmu, kenaifanmu dan rasa ingin tahumu,” jawabnya. “Berguna bagiku tapi juga berbahaya, tergantung bagaimana kau memanfaatkan dan mengembangkannya.” Percakapan ini terlalu tinggi bagiku.

“Begitukah?” tanyaku minta penegasan.

“Ya!” yakinnya. Aku senang. Walau masih tak paham, aku senang.

Kugandeng tangannya yang menggenggam tanganku ragu. Lalu aku berjalan di sisinya, mengikutinya sambil meloncat-loncat riang, mencoba menyesuaikan langkah-langkah kecilku dengannya.

“Siapa namamu?” tanyaku ingin tahu.

“Yah, orang-orang biasa menyebutku: DUNIA,” jawabnya sambil terus menuntunku.

“Dunia? Nama yang lucu,” kataku sok tahu.

“Hm. Namamu?” Ia balik bertanya. Kukira ia hanya pura-pura bertanya. Kukira ia telah tahu siapa aku. Lalu mengapa ia bertanya? Ataukah ia sebenarnya hanya menyuarakan tanyaku?

Aku langsung menghentikan langkah, tangannya kulepaskan dan aku menunduk sedih.

“Aku adalah wajah tak bernama.

“Aku hanyalah sosok tak penting bagi orang-orang itu,” kataku sedih sambil menunjuk orang-orang yang tadi mengerumuninya dan kini mengikuti langkah-langkah kami.

“Tidak seperti kau,” senyumku, namun dengan genangan di pelupuk mataku yang hampir-hampir tumpah.


 “Orang-orang kini banyak yang melupakanku. Menganggapku tidak ada…” Genangan air itu mulai menetes tumpah. “Aku dianggap merugikan, maka dari itu aku disingkirkan, bahkan mereka berharap aku tak pernah ada.” Kepalaku tunduk semakin dalam. Air mataku mulai menganak sungai.

Dunia terdiam, tercenung, tercengang, terpaku, tak tahu apa yang harus dilakukannya dalam kondisi seperti ini. Lalu, akhirnya, ia mendekatiku yang sedang duduk menunduk di pinggir jalan. Ia menepuk-nepuk pundakku. Sebuah penghiburan bagi bocah gembel kumal dari Sang Maharaja, mungkin seperti itu gambaran orang-orang yang melihat kami saat itu.

“Jangan sedih. Masih ada aku di sini, kan?”

Aku menatapnya, bingung.

“Me-Mengapa?” tanyaku sambil menahan isak.

Alis matanya naik bertanya, tak mengerti maksudku.

“Bukankah tadi kau bilang aku berbahaya bagimu?” jelasku sambil mencoba menghentikan tangis.

“Ya,” jawabnya, masih tak mengerti maksudku. “Lalu?”

Aku berusaha menghentikan isak tangisku sekuat tenaga sebelum menjawabnya. Ia menunggu dengan sabar hingga isakku reda.

“Bukankah itu berarti bahwa aku adalah musuhmu?” jelas tanyaku padanya.

Ah, wajahnya langsung tersenyum, kepalanya mengangguk mengerti maksudku.

“Tidak selalu begitu, kawanku.” Dan kini ia mulai menyebutku ‘kawan’? Dunia sungguh makhluk yang sangat aneh. Aku tak mengerti dia.


“Kau jangan salah mengerti. Sebenarnya aku lebih suka jika orang-orang itu mengenalmu, memanfaatkanmu sebaik mungkin, menjadikanmu sahabat terbaik mereka, dan menjadikan pendapatmu sebagai acuan dasar bagi setiap tindakan mereka.” Katanya panjang lebar, dan aku hanya diam mendengarkannya. Tak begitu mengerti sebenarnya, tapi kalimat itu kedengarannya sangat membesarkan hatiku dan, sepertinya, juga kepalaku. Kutahan senyum sumringahku, jangan sampai kepalaku meledak di sini. Tidak lucu jika itu sampai terjadi.

“Aku menyesal tak bisa berbuat banyak agar orang-orang itu bisa mendapatkan dan merangkul kembali dirimu untuk berjalan bersama mereka,” katanya lagi.

“Tidak apa-apa, yang kau lakukan kurasa cukup mengingatkan mereka untuk kembali mencariku dalam diri mereka.” Kini ganti aku yang menghiburnya. Lucu, pasti kelihatannya saat ini kami aneh sekali, Sang Maharaja dihibur si bocah Gembel? Weleh, bagaimana bisa?

Tapi aku terus berkata, “Kurasa kau telah cukup memberi peringatan keras kepada mereka yang serakah. Yah, meski kutahu perbuatanmu hanyalah reaksi dari perbuatan mereka,” kataku cepat-cepat ketika kulihat ia ingin membantah kataku.

“Kudengar, isu Global Warming kini sedang jadi mode di mana-mana. Itu perbuatanmu, kan?”

“Yah, mungkin begitulah kira-kira, tapi…”

“Tapi sepertinya itu cukup berhasil. Buktinya, aku kini hadir di sini bersamamu kan? Meski kini masih bocah gembel, tapi aku yakin sebagian besar dari mereka masih menyimpan diriku dalam hati mereka.”

Dunia tersenyum.

“Kau bukan lagi bocah kurasa. Dan kau juga bukan gembel.”

“Lihatlah dirimu sekarang!”


 Aku melihat diriku tumbuh bertransformasi menjadi lebih indah. Semakin dewasa dan semakin indah. Dan anehnya, Dunia pun bahkan menjadi lebih indah lagi dan semakin cemerlang. Ia bersinar bukan hanya karena pakaian dan aksesoris yang dikenakannya, tetapi juga karena diri Dunia itu sendiri bersinar dengan indahnya.

Kulihat orang-orang di sekeliling kami. Kusadari, semakin banyak orang-orang yang datang berkerumun dan menginginkan tidak hanya Dunia tetapi juga aku, Nurani, si bocah Gembel yang kini tumbuh menjadi semakin indah dan dewasa dengan semakin banyaknya orang yang menggenggamku dalam hati mereka. O, alangkah indahnya Dunia!!

Dan semua pun lalu tersenyum gembira. Orang-orang, Dunia, aku (Nurani), semua makhluk, bahkan Sang Maha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar