![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi63WvBI55AtMjSCboXYH8NmM2gCPDNTikUa4GF2KMJCHFX1fN3S3_zZDeTX0aa9Ss6onH5OEZUXFTpmTcYaBFjeKVbIEclEC2QB6FufZbYkXU4ENHr2lVsla10Q7x2sHjLBapR4J5aHSQA/s400/father+n+daughter.jpg)
Kisah ini awalnya kutulis di sebuah resto cepat saji sambil menikmati salah satu paket menu yang semuanya berbahasa Inggris. Kunikmati makananku sore itu sambil membaca buku yang baru saja kubeli di kaki lima.
“Selamat Datang!” sapa pegawai-pegawainya ramah ketika sebuah keluarga memasuki ruangan: bapak, ibu, dan sepasang anak. Anak yang perempuan kira-kira berumur tujuh tahun, mungkin naik kelas 2 SD tahun ini, adiknya laki-laki, mungkin sekitar empat tahun. Meski masih kecil, mereka fasih mengatakan menu pilihan yang semuanya berbahasa Inggris itu kepada orang tua mereka.
Aku diam mendengarkan sambil pura-pura meneruskan membaca dan makan. Sedikit takjub tapi kemudian mahfum. Jaman sekarang bahasa Inggris sudah menjadi bahasa lazim bahkan di kalangan anak-anak kecil, meski terbatas pada menu-menu makanan favorit di resto favorit mereka dan beberapa kalimat sederhana sehari-hari lainnya. Lain sekali dengan ketika aku kecil dulu. Saat itu bahasa Inggris baru diajarkan di SMP. Sekarang, di TK dan Play Group pun sudah diajarkan bahasa Inggris. Hebat sekali!
Kejadian sore itu mengingatkanku pada kejadian suatu sore bertahun-tahun yang lalu ketika aku masih kelas 2 SD. Sore itu cerah, tapi aku hanya duduk-duduk di teras rumah kami, tidak ada seleraku untuk bermain bersama teman-temanku yang kebanyakan laki-laki itu. Biasanya jika sore begini cerah, aku pasti sedang berlarian di sekeliling komplek rumah kami sambil tertawa-tawa gembira hingga magrib menjelang. Ada apakah kiranya? Maka pertanyaan ini akan langsung kujawab: Bapakku pulang!
Sudah lama Bapak tidak pulang, terakhir kali mungkin sudah 2 bulan yang lalu. Pekerjaan Bapak di Departemen Transmigrasi (sekarang Dept. Trans dan PPH) di bagian pembukaan lahan di Provinsi kecil dan masih baru ini menuntut Bapakku lebih banyak bekerja di lapangan daripada di kantor.
Jika sedang tidak berada di lapangan, maka Bapak biasanya menghabiskan waktu di rumah, menggeser meja makan kami yang besar ke tengah ruangan di bawah lampu ruang tengah, lalu menggambar peta wilayah, menggambar perencanaan pembagian lahan dan bangunan untuk para transmigran dengan detil-detil yang selalu membuatku tertarik mendekat, memperhatikan dan bertanya macam-macam.
Biasanya ia menggambar selama dua malam, lalu keesokan harinya baru pergi ke kantor, menyerahkan laporannya dan menerima tugas proyek baru jika ada. Jika tidak ada proyek baru, maka Bapak bisa berada di rumah selama beberapa minggu.
Aku senang, tapi Bapak bosan sebab tidak ada kerjaan. Berangkat ke kantor cuma untuk mengisi absen, lalu ke kantin ngobrol hingga waktu makan siang. Setelah makan lalu pulang ke rumah. Begitu terus... tentu saja Bapak merasa bosan.
Dan setiap kali sedang tidak di proyek, beliau pasti mengantarkanku dan kakak-kakakku ke sekolah dengan motor kantor, menceritakan bermacam-macam kisah yang aneh-aneh selama di proyek, membuat mainan-mainan baru untukku, membelikanku buku-buku cerita atau majalah anak-anak, dan malamnya sering diajak jalan-jalan membeli martabak.
Dan hari ini aku merasa senang sekali! Kenapa?
Benar sekali! Sebab, Bapak pulang. Kata Ibu, Bapak baru sampai pagi tadi, saat aku masih di sekolah. Waktu itu, aku entah sedang belajar di kelas atau berkelahi dan berlari berkejaran bersama teman-temanku yang (lagi-lagi) laki-laki.
Maka sore harinya jadilah aku duduk menemani Bapakku di teras depan rumah kami. Bapak duduk memejamkan matanya sambil mencabuti anak-anak jenggotnya dengan penjepit dari batang korek api yang dipatahkan jadi dua.
“Nggak main?” tegur Bapakku ketika melihatku mulai jenuh duduk diam.
“Sedang nggak pengen” jawabku ogah-ogahan. Aku lalu mendekati pintu pagar dan mulai menaikinya sambil berayun-ayun di atasnya.
“Sini bantu Bapak cabutin jenggot,” katanya memanggilku turun.
“Males, ah,” jawabku ngeles.
Aku tahu dari guru ngaji kami yang datang setiap seminggu 3 kali, seharusnya aku tidak boleh berkata “ah” kepada ibu. Tapi bapak bukan ibu, kan? Ngeles lagi. Tapi Bapakku yang tidak banyak bicara itu tidak ambil pusing.
“Waktu di proyek kemarin, Bapak ketemu orang barat,” katanya mulai bercerita. Nah, ini dia yang ditunggu, pikirku.
“Orang barat?” tanyaku mulai berminat.
“Ya,” angguknya sambil tersenyum memancingku.
“Bapak bicara sama dia?” tanyaku lagi. Pancingannya kena.
“Tentu saja,” senyumnya. “Dia kan teman kerja Bapak. Kita nggak mungkin nggak bicara dengan teman, kan?”
“Bicaranya pake bahasa Inggris?” tanyaku sambil terus berayun-ayun di pagar.
“Tentu,”angguknya lagi sambil tersenyum. Batang korek api patah yang dijadikannya penjepit tadi kini dibuangnya ke asbak di meja samping tempat duduknya.
“Emangnya Bapak bisa bahasa Inggris, ya?” minatku mulai tinggi.
“Hm, sedikit-sedikit Bapak bisa. Diajarkan sama teman Bapak itu.
“Mau Bapak ajarkan?”
“Mau..! Mau…!!” Sorakku riang sambil mengangkat kedua tanganku tinggi-tinggi. Bapak segera menghampiri dan memegang tubuhku agar tidak terjatuh dari pagar karena tindakan cerobohku itu.
“Sudah hapal one-two-three yang Bapak ajarkan dulu?”
“Sudah hapal sampai ten!” jawabku sedikit bangga. Lalu mulai berhitung dalam bahasa Inggris sampai sepuluh.
“Bagus! Sekarang coba ulangi ucapan Bapak ya?”
“Yes, Boss!” kataku sambil memberi salut kepada Bapakku dengan tangan kiri, sebab tangan kananku masih bergayut di pagar.
“Gut afte-nun (Good afternoon),”
“Gut afte-nun,” ulangku. “Artinya apa, Pak?” Tanyaku tak sabar.
“Artinya, Selamat Sore,” jawab Bapakku. “Sekarang kita ulangi lagi ya?
“Gut afte-nun, Ame!”
Karena sudah tau artinya, dengan tersenyum senang aku lalu menjawab, “Gut afte-nun, Bapak!”
Lalu Gut afte-nun pun berlanjut ke Gut Nun, Gut Morning, Gut Nait, tengkiyu veri mat dan ai em sowri. Aku terus mengulang-ulang ungkapan baru bahasa Inggrisku itu hingga Bapak mengganggap bahwa aku sudah mengucapkannya dengan agak benar.
Ketika dari kejauhan kulihat salah seorang teman mainku (lagi-lagi laki-laki) datang menghampiri kami, Bapak lalu berkata, “Coba ucapkan Selamat Sore dalam bahasa Inggris padanya!”
“Malu, ah Pak!” jawabku enggan.
“Kenapa malu? Dia temanmu kan? Bapak lihat, dia bukan orang barat, jadi Ame gak perlu takut salah,”
“Tapi kan tetep aja malu kalau salah. Lagian, aku cuma bisa sedikit-sedikit kan?” Aku, tapi Bapak tetep aja senyum.
“Me, salah itu biasa, tidak apa-apa, namanya juga belajar kan? Makanya kita terus belajar supaya tidak menjadi salah lagi. Dan belajar bahasa itu juga harus sering-sering dipraktekkan biar lancar dan tidak cepat lupa. Dengan mengajarkan kepada orang lain, kita juga jadi belajar untuk terus ingat dan tidak lupa, kan?
“Tidak hanya belajar bahasa aja, tapi semua pelajaran yang baik dan bermanfaat itu harus dipraktekkan, baru nanti akan terasa manfaatnya,” nasehat Bapakku agak panjang lebar.
Aku memikirkan semua ucapan Bapakku. Sementara itu kami lihat temanku semakin dekat. Bapak menoleh kepadaku.
“Gimana? Berani?” Tantangnya.
“Yes, Boss!” jawabku yakin dengan senyum lebar hingga menampakkan gigi-gigi depanku yang gigis.
“Hai! Sedang apa?” Sapa temanku, Budi namanya.
“Gut Afte-nun, Budi!” sapaku masih sedikit kaku dan malu.
“Apa itu?” Tanya Budi tak mengerti.
“Bahasa Inggris,” jawabku sedikit sombong sambil tersenyum. “Artinya selamat sore. Tadi aku baru belajar dari Bapak.” Kulirik Bapak yang duduk tersenyum ke arahku dan sudah mulai mencabuti anak-anak jenggotnya lagi.
“Oh,” angguknya.
“Kamu mau belajar juga? Nanti kuajarin, deh!” Budi mengangguk sambil tersenyum. “Mau!” katanya. Ia mulai memanjat pagar dan duduk di sebelahku.
“Oke, kalau aku bilang ‘Gut afte-nun, Budi’ kamu harus jawab ‘Gut afte-nun, Ame’, gitu. Kita ulangi ya?”
“Oke,” jawab Budi meniruku.
“Gut afte-nun, Budi!” sapaku lagi.
“Gut afte-nun, Ame!” jawab Budi.
Kami saling pandang, merasa lucu dengan ucapan yang terdengar agak aneh di telinga kami berdua, lalu tertawalah kami terbahak-bahak. Sesudah itu kami masih belajar Gut nun, tapi Budi baru belajar sampai Gut morning waktu Ibuku memanggilku untuk berwudhu.
Rupa-rupanya kami terlalu asyik belajar bahasa Inggris hingga tidak terdengar azan Magrib yang mengaung keras lewat megaphone masjid kecil di komplek kami.
“Sampai besok, ya!” kata Budi sambil merambat turun dari pagar dan melambai berlalu.
“Oke!” jawabku sambil membalas lambaiannya dari atas pagar, melompat turun dan terus berlari ke dalam rumah.
Aku tersenyum riang. Tidak rugi aku duduk bersama Bapak sore ini, karena hari ini pun aku belajar hal-hal baru yang menyenangkan dari Bapak, bahkan aku bisa mengajarkannya pula kepada temanku, Budi meskipun baru sampai Gut morning.
Bertahun-tahun kemudian, setelah aku agak besar, aku menyadari dan memahami bahwa sore itu Bapakku tidak hanya mengajarkan “Greetings” kepadaku, tetapi juga filosofi tentang belajar.
Bahwa tidak harus menunggu tahu banyak hal untuk mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang lain.
Bahwa dengan mengajarkan ilmu yang kita miliki berarti kita juga sedang mengulang-ulang pelajaran yang sama, yang dengan begitu ilmu itu tidak akan pernah hilang dari kita.
Bahwa ilmu yang baik dan bermanfaat itu juga harus selalu dipraktekkan agar tidak cepat lupa dan terasa manfaatnya.
Bahwa memberikan ilmu kita kepada orang lain tidak berarti kita membuatnya menjadi berkurang, tetapi ia bahkan akan semakin bertambah dan terus berkembang biak semakin banyak.
Mungkin Bapakku tidak menyadarinya atau bahkan sudah lupa, bahwa banyak hal yang kupelajari darinya di sebuah sore yang indah bertahun-tahun yang lalu. Terima kasih ya, Pak. Karena Bapak sudah mengajarkanku begitu banyak kebijaksanaan.
Sekarang ilmu bahasa Inggris ini bisa menghasilkan cukup uang untukku belanja buku setiap bulannya, dengan menerjemahkan sedikit esai, makalah kecil, thesis, dan sesekali sedikit fiksi dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Pages: 1 2 3 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar